Badak Vs Petani

Badak Jawa sepertimya lebih unggul keeksistensiaannya jika dibandingkan dengan petani yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Bagaimana tidak buktinya saja salah satu upaya untuk melestarikan Badak Jawa yang bersisa 35 ekor ini harus mengorbankan petani untuk kehilangan lahan mereka untuk mencari nafkah. Program Javan Rhino Study an Conservation Area atau Jarischa untuk mendukung Konservasi Badak Jawa melakukan pemagaran lahan di tempat para petani melakukan penggarapan setiap harinya. 

Sebenarnya sebelum diberlakukan program tersebut pihak dari JSRCA telah melakukan kesepakatan dengan petani yang kemudian menandatangani kontrak perjanjian ditambah pemberian uang tebusan sebanyak 1,5 juta bagi masing-masing petani yang lahannya diambil. Namun, banyak dari petani yang tidak membaca seksama apa isi perjanjian tersebut karena memang kemampuan membaca mereka terbatas. Mereka pun menduga uang yang diberikan tersebut hanya pemberian semata dan bukan sebagai tebusan dari lahan yang telah direbut oleh pihak JSRCA.

Hampir punahnya badak jawa
Saat ini hanya tinggal 35 ekor badak jawa, 13 betina, dan 22 jantan. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa 5 diantaranya anakan yang menghasilkan 3 betina dan juga 2 jantan. Hal ini lah yang membuat lahan yang luas tersebut semakin dikonsentrasikan agar proses reproduksi semakin mudah terjadi. Selain itu juga bila terkonsentrasi dengan baik akan membatu proses reproduksi secara alami tanpa paksaan dari pengelola TNUK dan dapat mempermudah pantauan proses reproduksi. 

Seperti yang kita ketahui bahwa kawasan TNUK merupakan kawasan konservasi yang artinya kepentingan akan kelestarian ekologi merupakan yang utama. Konservasi Badak Jawa juga tidak kalah penting apalagi dengan jumlahnya yang semakin sedikit. Kepunahan satwa langka ini perlu dicegah apalagi setelah diberitakan kepunahan Badak Vietnam pada tahun 2012.

Solusi
Sebenarnya program yang diberikan JSRCA tidaklah salah, tetapi seharusnya pihak dari program JSRCA melakukan sosialisasi dengan baik seperti, bagaimana mereka memberikan penjelasan terperinci akan pengalihan fungsi lahan dan juga alasan pemberian uang kepada petani penggarap. Karena hal ini bukan hanya menyangkut masalah hidup Badak Jawa yang terancam punah, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup masyarakat sekitar kawasan TNUK. Sosialisasi yang baik juga harus diberikan kepada pemerintah daerah yang mana harus memikirkan akibat jangka panjang dari program tersebut. Jika pihak JSRCA tidak dapat mengganti rugi atas kehilangan lahan para petani, apakah salah jika saya menyalahkan prosedur mereka? Dan sekali lagi seharusnya pemerintah daerah setempat ikut serta dalam pemecahan masalah ini.